Oleh Yulia Pratiwi

“Aturan Petak Umpet : ‘Sembunyi’. Sembunyilah agar tidak ada yang menemukanmu.”

***


Angin berhembus dengan kencang ketika seseorang terlihat keluar dari rumah di ujung lorong. Tangan kanannya memegang bunga kamboja berkelopak empat dan di telinga kirinya terselip bunga kamboja berkelopak enam.  Seakan ada yang memanggilnya, dia melangkah dengan cepat mengikuti arah angin. Kaki telanjang dan pakaian piyama tipis yang lusuh tak menghalanginya untuk tetap melangkah, menelusuri lorong yang seperti tak ada ujungnya.

Sampai ketika dia tak lagi melangkah karena kakinya menginjak bunga kamboja yang lain. Awalnya dia ingin mengambil bunga itu, tapi angin tiba-tiba membawa bunga itu terbang menuju barisan bunga kamboja yang terlihat seperti penunjuk jalan. Tanpa ragu dia mengikuti barisan bunga kamboja itu, yang ternyata membawanya sampai ke depan gedung biru bertuliskan “Gedung Science Study”.

Karena bunga  kamboja terakhir tepat berada di luar gedung, dan dia tak melihat hal aneh di dalam gedung itu, akhirnya dia memutuskan untuk berbalik. Namun baru selangkah tiba-tiba ada yang memanggil namanya dengan lembut.

“Meria”

Meria berhenti melangkah dan membalikkan badannya lagi menghadap gedung. Dengan berani dia melangkah memasuki gedung dan menuju ke lift yang terbuka. Ketika lama terdiam di depan lift, suara itu terdengar lagi, makin jelas.

Meria, tolong aku.”

 Meria yang makin penasaran memasuki lift dan memencet tombol empat. Sesampainya di lantai empat, meria memandang sekeliling. Dia tidak mengenal ruangan-ruangan di lantai ini dan juga tak ada cahaya yang bisa membantunya untuk melihat dengan jelas. Dia hanya bisa memandang kegelapan dengan angin yang berhembus menerbangkan bunga kamboja di telinganya.

Meria, akhirnya kau datang. Kemarilah dan bantu aku.” Tepat ketika meria bingung, suara itu terdengar lagi.

“Kau ingin dibantu apa?” Meria bertanya dengan langkah mendekati pintu ruangan di pojok kiri.

Bantu aku keluar dari sini, tolong” Suara itu tak lagi lembut, melainkan seperti merintih. Meria mempercepat langkahnya, dan ketika sampai di depan ruangan itu, dia memandang ke dalam melalui kaca pintu yang tembus pandang. Tak ada yang bisa dilihatnya kecuali kegelapan yang pekat.

“Apakah kau di dalam?” tanya Meria berteriak sambil membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Meria melangkah masuk dengan hanya mengandalkan indra pendengarannya.

“Jawab aku jika kau memang ada di sini!” Meria sekali lagi meninggikan suaranya agar terdengar di seluruh ruangan, namun tetap tidak ada yang menyahut, kecuali angin yang semakin kencang berhembus.

Aku di belakangmu.” Suara itu seperti bisikan di telinga Meria. Meria bergidik dan spontan membalikkan badannya. Namun apa yang dilihatnya masih kegelapan yang pekat. Tangannya menggapai ruang hampa, tidak ada siapapun di sana.

“Kau mempermainkanku ya? Katanya kau mau dibantu, bagaimana caranya aku membantumu jika kau tak berwujud?” Meria sudah tidak tahan dan mengeluarkan keluhannya dengan terus terang.

Aku juga tidak tahu wujudku di mana. Aku dulu bersembunyi di sini agar tidak ada yang menemukanku. Tapi ketika aku sudah lelah bersembunyi, ketika aku sudah ingin ditemukan, tidak ada yang bisa menemukanku. Aku berharap kau bisa menemukanku.”

“Aku tidak mengerti dengan apa yang sedang kau bicarakan. Apa kau sedang main petak umpet?”

Kau bisa menganggapnya begitu. Sekarang kau keluar dari ruangan ini, dan berjalanlah ke arah kiri.”

Meria mengikuti instruksi suara itu tanpa curiga, ketika sampai di depan sebuah pintu, suara itu terdengar lagi.

Buka pintu itu,” Setelah Meria membuka pintu itu, angin menerpa tubuhnya dengan kencang, dan terlihatlah pemandang kota. Entah mengapa kota metropolitan yang tak pernah tidur ini, sekarang seperti tak berpenghuni, sepi. Dan Meria tidak mengindahkan keanehan tersebut, karena kesibukannya untuk berkomunikasi dengan suara tak berwujud yang membawanya sampai di sini.

“Lalu apa lagi? Kau tidak mungkin ada di sini, ini bukan sebuah ruangan, melainkan balkon tanpa batas.”

Majulah terus sampai kau menemukanku.”

“Jika aku maju, maka aku akan jatuh.” Meskipun berkata begitu, Meria tetap melangkah maju. Setiap langkahnya membawa tubuhnya untuk makin mendekat dengan ujung balkon. Saat selangkah lagi untuk jatuh, tiba-tiba suara lain datang untuk masuk ke indra pendengarannya.

“Meria,,, Meria,,, Meria” Suara itu seperti bisakan, disertai guncangan kecil di bahunya.

Meria membuka matanya dan alangkah terkejutnya dia ketika melihat semua mata sekarang tertuju padanya. Dia memandang sekeliling, mencari tahu di mana dia sekarang berada.

“Kita di kelas?” tanyanya pada Rina -pelaku yang membangunkannya dari mimpi- juga dengan bisikan

“Kau kira di mana? Menghadap ke depan, pak Abdul sedari tadi memanggilmu.”

Meria yang orientasinya belum sepenuhnya kembali menghadap ke depan, memandang pak Abdul –dosen mata kuliah Filsafat- yang sedang menatapnya garang.

“Plumeria Rilina, rangkum semua isi buku paket Filsafat dan harus selesai besok pagi.” Setelah mengatakan itu, pak Abdul melangkah keluar dari kelas tanpa mengindahkan teriakan -ingin diampuni- oleh Meria.

“Selamat merangkum ya,” Ejekan itu langsung membuat Meria menghadap ke pelaku.

“Kenapa kau tak membangunkanku dari tadi? Dan Aaaaaaaa…” Meria spontan berteriak ketika melihat bunga kamboja berkelopak empat di tangan kanannya. Dia melempar bunga itu entah kemana.

“Kau kenapa?” Rina yang membereskan bukunya menghadap ke Meria.

“Itu, tadi, bunga kamboja, kenapa bisa ada di tanganku?” Meria terbata dan memandang Rina dengan kaget bercampur bingung.

“Kau amnesia tiba-tiba ya? Kau sendiri yang membawa bunga itu, entah dari mana asalnya. Ketika kutanya kenapa kau membawanya, kau hanya mengatakan karena bunga itu adalah namamu, absurd kan?”

“Benarkah?” Meria bertanya pada dirinya sendiri. Dia mengingat mimpinya yang absurd dan cukup membuatnya  merinding. Dia tidak pernah percaya dengan hal yang seperti ini, namun bunga kamboja itu memaksanya untuk memikirkan lagi benang merah yang akan menghubungkan semua ini.

Ketika menemukan keanehan yang tak bisa di terima oleh nalarnya, dia bertanya kepada Rina.

“Apakah gedung Scince Study ini ada lantai empat-nya?”

Rina yang sudah berdiri hendak keluar dari kelas memandang Meria dengan tatapan menyelidik.

“Meria, kau sudah kuliah di kampus ini selama 3 tahun dan kau masih mempertanyakan hal seperti itu? Ayolah, lebih baik kau merangkum buku filsafat dari pada bertanya hal yang orang idiot juga tahu jawabannya.” Rina meninggalkan sahabatnya -Meria- yang entah kenapa absurd total hari ini.

Meria yang masih penasaran dengan apa yang dialaminya, tidak mengindahkan ejekan Rina. Dia masih berusaha memecahkan teka-teki yang terjadi ini. Dia tahu bahwa di gedung ini memang tidak ada lantai empatnya, karena konon katanya pemilik gedung ini masih percaya dengan mitos tentang kematian itu. Tapi kenapa di mimpinya gedung ini punya lantai empat? Dan lagi, siapa suara yang didengarnya dalam mimpi itu? Apakah ada hubungannya dengan bunga kamboja di tangannya, sedangkan dia tidak ingat dari mana dia mengambil bunga itu?

Ingin rasanya Meria mengungkap arti mimpinya, namun dia benar-benar tidak tahu harus memulai dari mana. Dan juga, Meria mengingatkan dirinya bahwa mimpi hanya sekedar mimpi, mungkin ini hanya sebagai peringatan bahwa dia tidak boleh lagi tidur saat jam kuliah berlangsung. Ya, pada akhirnya Meria hanya sampai di kesimpulan seperti itu.

Meria lalu meninggalkan kelas, mengikuti jejak Rina. Merangkum buku filsafat lebih berguna dari pada memikirkan mimpi yang hanya sebagai bunga tidur.