“Innalillahi
wainnailaihi rajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah, salah satu rekan kita,
Bapak Abdullah. Semoga amal ibadah beliau diterima di sisi Allah SWT. Amin.”
Pengumuman itu
disampaikan tepat sebelum jam pertama dimulai. Seluruh siswa terlihat kaget,
tanpa terkecuali. Pasalnya satpam mereka, pak Abdullah masih terlihat sehat
saat kemarin menjaga gerbang sekolah. Dia juga tidak pernah absen bertugas
akhir-akhir ini. Tapi itulah ajal, tidak ada yang menduganya.
Suasana kelas
XII.Khusus terlihat yang paling ramai saat mendengar pengumuman tersebut.
“Fiola pasti sangat
sedih sekarang,” Rere mulai berceloteh.
“Menurut aku,
dia tidak akan sedih. Dia kan katanya benci dengan ayahnya,” Steva menimpali
dengan penuh semangat.
“Sebenci-bencinya
dengan ayah, tidak mungkin dia tidak sedih saat ayahnya sudah tidak ada.”
“Tapi bisa jadi.
Kemarin Fiola kelihatan sangat aneh,” Steva tidak menyerah dengan argumen
awalnya.
“Aneh
bagaimana?”
“Dia seketika
jadi pendiam. Biasanya kan dia selalu cerai.”
Fiola memang
terkenal dengan sikap cerianya, yang selalu tersenyum dalam segala keadaan. Dia
selalu bersikap baik kepada siapapun tanpa kenal bulu. Dan dia juga dikenal
sangat pintar. Karena hal itu, semua orang menganggap bahwa hidup Fiola sangat
sempurna.
“Itu karena
nilai ulangan matematikanya yang anjlok kemarin. Itu merupakan pencapaian
terburuknya, meskipun dia masih di atas kita. Dia terlalu berlebihan menyikapi
nilainya.”
“Masa sih karena
nilainya? Nilainya masih ba...”
“Bisa diam
tidak?”
Kalimat Steva terpotong
oleh perintah yang dibungkus pertanyaan tajam dari ketua kelas, Rangga.
Seketika kelas menjadi diam. Memang, tidak ada yang bisa membantah perintah
ketua kelas. Dia memang sangat berkuasa di kelas.
“Dan nanti
sepulang sekolah, kita sempatkan takziah ke rumah Fiola,” Rangga melanjutkan
ucapanyya. Dan langsung mendapat anggukan setuju dari seluruh siswa kelas
XII.Khusus.
***
Bel pulang
berbunyi. Seluruh siswa kelas XII.Khusus beserta wali kelas menuju ke rumah
Fiola. Dari kejauhan, terlihat di depan rumah Fiola sangat ramai. Bendera putih
dan mobil ambulance sudah siap di depan rumah. Saat menengok ke dalam
pekarangan rumah, terlihat masih banyak orang yang baru berdatangan.
Saat rombongan
XII.Khusus masuk ke dalam pekerangan rumah, terlihat Fiola yang berdiri di
depan pintu. Fiola berdiri menyambut para tamu yang berdatangan mengucapkan
bela sungkawa. Wali kelas yang pertama
mengucapkan bela sungkawa kepada Fiola, diikuti teman-teman XII.Khusus.
Rangga yang
terakhir mengucapkan bela sungkawa, melihat keanehan dalam diri Fiola. Tidak
ada air mata yang bertengger di pipi pucatnya, bahkan bekas air mata pun tidak
ada. Tidak ada ekspresi sedih dalam wajahnya, hanya ekspresi datar yang selalu
dia tampakkan. Dia juga tidak membalas segala ucapan bela sungkawa yang
ditujukan padanya.
Saat dari
pemakaman, Fiola masih sama seperti tadi siang. Para tamu memang sudah pulang,
hanya tinggal sedikit sanak saudara, dan Rangga yang setia duduk di teras rumah
menunggu Fiola. Dia harus menanyakan, atau setidaknya memberi semangat kepada
Fiola.
Fiola berjalan
terus ke depan, tidak melihat Rangga di teras rumahnya. Saat dia sudah hampir
membuka pintu, Rangga memanggilnya, sambil menahan pundaknya.
“Fio,” Fiola
hanya berbalik tanpa berkata apapun.
“Duduk di sini
dulu Fio,” Rangga mencoba untuk membawa Fiola duduk di teras rumah.
“Aku tahu
bagaimana perasaan kamu sekarang Fio. Kamu pasti bisa melewati ini. Jadi tolong
jangan menyiksa dirimu dengan segala benteng pertahanan yang coba kau
pertahankan sekarang.”
Fiola hanya memandang
ke depan, menghiraukan ucapan Rangga.
“Fio please,”
“Kamu tidak tahu
bagaimana perasaanku sekarang. Tidak akan pernah tahu,” masih dengan ekspresi
datarnya, Fio akhirnya membuka mulutnya untuk berbicara. Meskipun bukan kalimat
itu yang ingin didengar Rangga. Belum sempat ucapannya di tanggapi oleh Rangga,
dia sudah melanjutkan.
“Bagaimana
rasanya dipaksa untuk selalu tersenyum, padahal saat itu kau sangat ingin
menangis. Bagaimana rasanya dipaksa untuk selalu bersikap baik, padahal saat
itu kau sudah sangat muak. Dan bagaimana rasanya dipaksa untuk menjadi juara
pertama, padahal Rangga Dirga masih ada, orang terpandai di kelas. Kau tidak
akan pernah tahu bagaimana rasanya.”
Rangga terdiam
mendengar pengakuan jujur dari Fiola. Dia tidak menyangka, dibalik hidup
sempurnya Fiola yang selalu dia tunjukkan, dia memiliki rahasia yang kelam.
“Saat dia tahu
bahwa aku sudah menangis, dia akan memukulku di punggung. Saat dia tahu bahwa
aku sudah bersikap kasar, dia juga akan memukulku di punggung. Dan setiap
pengumuman peringkat, dan Fiola Anggreini masih yang kedua, dia sekali lagi,
akan memukulku di punggung.”
Sekali lagi,
Rangga terkejut dengan fakta menyakitkan itu. Sekarang dia yang tak mampu
berkata-kata lagi. Rangga tahu bahwa subjek ‘dia’ dalam kalimat Fiola adalah
pak Abdullah, ayahnya. Dan sekarang dia tahu alasan Fiola membenci ayahnya.
“Aku memang
membencinya. Tapi bukan karena sikapnya yang pemaksa. Bukan juga karena sikap
kasarnya. Tapi karena keinginannya yang belum bisa aku penuhi sampai akhir
hidupnya. Aku tidak bisa membuatnya bangga. Aku tidak pernah bisa membuatnya
bangga.”
Kalimat terkahir
itu dia ucapkan diiringi air mata yang mengalir di kedua pipinya. Dan Rangga
sudah salah menebak alasannya.
“Fio, kamu udah
mencoba yang terbaik. Kamu tidak pernah menangis, dan kamu selalu bersikap
baik,” Rangga mencoba menghibur Fiola. Dia mendekat dan memeluk Fio, dia tidak
tahan melihat Fiola yang sangat lemah.
“Aku tidak
pernah memanggilnya ayah lagi setelah ibu tidak ada, bahkan sampai hembusan nafas
terakhirnya, aku tidak memanggilnya ayah. Aku tidak pernah mengatakan sayang
kepadanya. Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku sangat mencintainya. Aku, aku,” tidak mampu lagi dia lanjutkan
ucapannya karena air matanya terus jatuh dengan frekuensi yang semakin cepat.
Rangga mengeratkan pelukannya dan mencoba untuk mengucapkan kata-kata apapun
yang bisa membuat Fiola tenang.
“Aku, hanya
fokus menorehkan tinta hitam di atas kertas yang bersih. Tanpa tahu bahwa
kertas bersih itu juga butuh tinta biru dan tinta lainnya.”
Setelah
mengucapkan itu, tangis Fiola makin menjadi. Diiringi bisikan angin yang
menyebabkan ilalang tinggi di samping rumah bergoyang, seperti ingin ikut
menenangkan Fiola yang sedang terpuruk.
0 Comments