Pintu kafe berdecit pertanda bahwa ada seseorang yang telah mendorongnya, seseorang itu adalah Varsha Ranegin. Untuk sesaat gadis berjilbab merah muda itu terpaku di depan pintu, tanpa bisa menggerakkan kakinya. Dia sibuk mengagumi apapun yang tertangkap oleh indranya. Dinding penuh dengan lukisan yang pertama kali tertangkap oleh indra penglihatannya, alunan musik klasik terdengar begitu menenangkan. Dan aroma coklat dari berbagai tempat di belahan dunia tercium begitu mengundang untuk dicicipi. ‘Kau terlalu mengerti apa yang aku suka’  Sudut bibir Varsha tertarik ke atas seiring dengan pemikirannya.
“Dek, kalau tidak jadi memesan apapun di kafe ini, silahkan keluar, karena pelanggan lain sedang menunggu,” tegur salah satu pelayan sambil menunjuk para pelanggan yang masih berada di luar pintu.
“Ah maaf mas. Saya akan masuk,” senyum Varsha malu. Dia langsung melangkah masuk ke dalam kafe, mencari meja nomor 22. Dan sekali lagi, sudut bibirnya tertarik ke atas  saat menemukan meja nomor 22 terletak di sudut kanan kafe, berdekatan dengan jendala. Dari meja tersebut, lalu lalang di luar kafe bisa dinikmati dengan leluasa. ‘Kau membuatku makin penasaran’.
Dengan wajah yang masih tersenyum, Varsha duduk dan meletakkan tasnya di kursi kosong di sebelahnya. Dia mengeluarkan kertas kecil berwarna biru dari dalam sakunya. ‘Hari Minggu, pukul 14.00, kafe Chocolate, meja 22.’ Begitulah tulisan dalam kertas kecil itu. Bukan hanya selembar itu saja, sudah berlembar-lembar kertas kecil biru yang isinya absurd tapi bisa membuat terbang dengan pilihan diksinya yang selalu tepat. Dan baru pertama kalinya Si kertas kecil biru itu mengajak untuk saling bertemu. Entah apa maksudnya. Tapi terlepas dari apa yang akan terjadi nanti, Varsha tidak menyesal datang ke tempat yang seperti surga baginya.
“Meja 22, dua porsi Pure Chocolate Ice Cream. Silahkan dinikmati dan semoga memuaskan.”
Belum usai rasa kagumnya terhadap kafe itu dan si kertas kecil biru, tiba-tiba seorang pelayan menghampiri mejanya, dan meletakkan dua porsi coklat di mejanya. Kalau saja lompat-lompat dan berteriak gembira di tempat itu wajar, maka dia akan melakukannya. Tapi untungnya hal itu masih tidak wajar. Pure Chocolate Ice Cream, coklat yang membuatnya jatuh cinta pada cicipan pertama. Yang mengetahui fakta itu hanya dirinya dan Regen.
Regen. Mata Varsha sontak terbelalak saat orang yang sedang dipikirkannya sedang duduk di kursi seberangnya.
“Re,” Varsha masih tidak percaya.
“Ya. Aku disini,” Regen yang mengerti keterkejutan Varsha mencoba memperjelasnya.
“Sejak kapan kamu duduk disitu?”
“Sejak pelayan menghidangkan coklat luar biasa ini.”
“Tidak mungkin. Kenapa aku tidak menyadarinya?”
“Karena kamu terlalu sibuk mengagumi coklat ini dan jangan bilang kamu sudah membayangkan dirimu lompat-lompat dan berteriak tidak jelas,” Regen tertawa geli saat mengatakan itu.
“Tidak!” jawab Varsha terlalu cepat dan semangat. ‘Tidak sampai kejadian, tapi membayangkan memang sudah. Bagaimana kau tahu kebiasaanku itu, Re?’ lanjutnya dalam hati.
“Tapi Re,”
“Ya?” Regen memakan coklatnya dengan santai.
“Si kertas kecil biru, itu kamu?”
“Hah? Maksudnya? Kertas kecil biru apa?”
“Ah, bukan apa-apa.” Varsha terlihat kecewa. ‘Kenapa Regen tidak tahu tentang kertas kecil biru itu? Apa mungkin dia hanya pura-pura tidak tahu?’ Varsha masih terlihat bingung dengan apa yang sedang terjadi. Sedangkan Regen memandang Varsha dengan tenang, sambil sesekali memakan coklatnya.
“Re,” sekali lagi Varsha menyeruakan kebingungannya.
“Kenapa?” Regen sejenak menghentikan suapan coklatnya, dan fokus memandang Varsha yang akan mengatakan sesuatu.
“Itu,, ehm,,” ada jeda sebentar sebelum Varsha melanjutkan ucapannya. “bagaimana bisa kamu tahu semua yang aku suka?”
“Semua yang kamu suka?” Regen terlihat sedikit bingung dengan pertanyaan Varsha. Tapi kemudian, seperti ada lampu kuning yang menyala dalam kepalanya. “Oh, maksudmu Pure Chocolate ini? Saat aku tadi masuk ke kafe ini, aku melihatmu hanya duduk sendirian tanpa memesan apapun. Karena dulu kamu pernah bilang sangat suka dengan Pure Chocolate, jadi aku pesan dua.”
Varsha menganggukkan kepala dan tersenyum kecil. ‘Mungkin saat ini Regen belum mau mengatakan yang sejujurnya, tapi tidak apa-apa. Aku akan menunggumu, si kertas kecil biru.’
Regen ikut tersenyum dan meletakkan tangannya di kepala Varsha, mengusapnya untuk menunjukkan rasa gemas dan kasih sayangnya.
......
Tidak jauh dari dua insan yang sedang tersenyum itu, ada satu insan yang memandang dengan mata sendu. Dia sedang berdiri di tengah lalu lalang mengahadap kafe Chocolate. Kertas kecil biru ditangan kanannya, sudah kelihatan kusut karena sejak tadi tangannya mengepal menggenggam kuat kertas kecil biru itu.