Oleh : Yulia Pratiwi
Hidup, pasti pernah ada yang namanya
masa galau. Masa dimana kita dihadapkan pada suatu keputusan, bingung untuk
mengambil tindakan, terpuruk akan suatu hal, merasa ini adalah akhir dari
semuanya. Pasti pernah. Dan setiap orang memiliki caranya sendiri untuk
menjalani dan menyelesaikan masa tersebut.
***
Suasana damai, musik klasik, ruangan
yang didominasi warna putih, dan secangkir coklat hangat yang tersaji di atas
meja sesaat setelah aku tiba di tempat ini. Dia benar-benar tahu apa yang
kusuka. Tempat yang tak akan membuatku bosan menunggunya, yang sepertinya akan
telat karena macet.
Memikirkannya, entah kenapa membawa
pikiranku kembali mengingat percakapan beberapa tahun silam yang mengaduk-aduk
pendirianku.
“Nai, katanya Fahri nembak kamu, ya?”
“Iya,” jawabku lesu.
“Loh? Kenapa ngga semangat gitu? Udah
jadian, kan?”
“Belum, dan ngga akan jadian.”
“Kamu tolak?” Raisa kaget dengan apa
yang aku katakan. Aku pun masih bimbang dengan keputusanku sendiri.
“Nai, ini Fahri loh, cowok yang kamu
idolakan dari jaman SMP.Jangan menghianati hatimu, kamu nerima dia, kan?”
Fahri, nama yang tidak sengaja kuketahui
dari salah satu buku di perpustakaan. Buku yang membawaku pertama kali
menemuinya, mengenalnya. Namanya, entah kenapa sudah menempel di otakku.
Wajahnya, sering muncul dalam imajinasiku. Tapi aku tahu, semua itu salah,
tidak boleh.
“Naila, Fahri itu cowok yang sempurna.
Ganteng, pintar, kaya, baik. Dan yang terpenting dia itu sholeh. Jarang ada
cowok paket lengkap seperti itu,” Raisa sedikit gemas karena aku tidak
menjawabnya.
“Tapi kamu tau kan, Sa. Sejak tahun
terakhir di SMA, aku jauh berubah. Aku sudah punya pegangan sekarang, punya
prinsip. Aku udah janji sama diri aku sendiri untuk selalu mengikuti ajaran
Allah. Salah satunya tidak berpacaran.”
Raisa mulai diam, dan seperti memikirkan
sesuatu.
“Dan lagi, kalaupun Fahri se-sholeh yang
kamu bilang, dia nggak mungkin
ngajakin aku pacaran,” lanjutku.
“Kalian kan bisa ta’arufan.”
“Ta’aruf tidak menjamin semuanya
berjalan lancar. Dan bagiku, ta’aruf sama saja dengan berpacaran, mendekati
zinah.”
“Kamu memang sudah berubah, Nai.
Pandanganmu terhadap hidup sudah seperti ustasa yang berpengalaman.”
“Terima kasih, aku anggap kamu
memujiku.”
“Tapi Nai, kamu beneran nggak mau?” Raisa mulai lagi.
“Raisa, pernah kah kamu mendengar
kata-kata ini? ‘Wanita yang baik, untuk lelaki yang baik’. Jadi aku ingin
memperbaiki diriku dengan berjalan di jalan Allah. Aku hanya ingin mencintai
suamiku kelak. Dan masalah Fahri, aku menganggapnya sebagai ujian yang
diberikan Allah. Jika memang dia adalah jodohku, kelak kita akan bertemu
langsung di hadapan Allah mengucap janji suci, tidak dengan berpacaran atau
semacamnya.”
Raisa tidak mendebatku lagi.Dia berusaha
mencerna setiap kata yang dengan lancar kuucapkan tadi. Semoga saja dia bisa
mengerti dan berhenti mengungkit masalah ini lagi.
Benar apa yang dikatakan ustasa dulu,
jika kita berada di jalan baik, kita akan mendapatkan banyak cobaan. Karena
lewat cobaan itulah, kita akan selalu belajar dan menjadi lebih baik lagi.
***
Ingatan-ingatan masa lalu itu terhenti
ketika bel di pintu masuk restoran berbunyi. Seseorang masuk ke dalam restoran
dan berjalan ke arah mejaku. Aku tersenyum saat mata kami bertemu. Seseorang
yang kurang lebih satu tahun ini telah menjadi bagian dari hidupku. Suamiku, Refahri
Fadriawan.
0 Comments