Oleh    : Yulia Pratiwi

            Kkukkuruyyuu~~
            Alarm alami berbunyi, itu tandanya aku harus cepat-cepat bangun tidur. Aku mengusap mataku sambil berjalan menuju jendela di kamarku. Aku membuka gorden, dan tepat saat itu aku melihat pemandangan yang menyegarkan mata di pagi hari.
Aku senyum-senyum sendiri di dalam kamar, tetap memandang keluar jendela. Mata yang tadinya masih ingin terpejam seketika menjadi segar setelah mendapat sarapan paginya. Sarapan mataku adalah dia.
Dia yang selalu membuat mataku ketagihan untuk memandangnya. Setiap pagi mataku memang tidak pernah absen masalah sarapan. Karena aku sudah hafal betul, kalau jam segini, dia pasti keluar rumah dengan pakaian olahraganya. Melakukan pemanasan sebentar di depan rumah, lalu memulai acara berlari-lari kecilnya mengelilingi kompleks.
Itulah kebiasaannya setiap pagi yang tak pernah di tinggalkannya sepengetahuanku. Pantas dia memiliki tubuh yang tegap dan idaman di kalangan para gadis. Padahal dia masih duduk di bangku SMA, sama sepertiku.
Dia sudah tidak terlihat lagi saat tiba-tiba mama berteriak untuk membangunkan kakakku yang kamarnya tepat di sebelah kamarku. Setelah kamar kakak yang diteriaki, target berikutnya pasti kamarku. Jadi lebih baik aku cepat-cepat keluar kamar sebelum gendang telinga ini pecah.
“Pagi mama” sapaku saat membuka pintu kamar dan melihat mama berjalan menuju kamarku. ‘untung tepat waktu’ gumamku dalam hati sambil tersenyum.
“Pagi sayang, sarapan sudah siap. Makan dulu baru mandi.”
“Iya ma”
Aku mencium pipi mama yang sudah ada di depanku. Lalu berjalan melewatinya menuju meja makan. Jika tadi mata yang sudah sarapan, meskipun belum kenyang, sekarang saatnya perut yang mengambil jatah sarapannya.
~~~~~
Suara kendaraan terdengar jelas di telingaku, karena saat ini aku sudah berada di pinggir jalan menunggu angkot. Setelah sarapan tadi, aku langsung siap-siap ke sekolah. Sebenarnya aku sengaja cepat-cepat, supaya nanti ketemu dia. Karena biasanya dia akan lewat di sini.
“Hei,,”
Aku tersentak hanya karena mendengar suaranya. Aku berbalik dan mendapatinya sudah siap ke sekolah dengan motornya. Aku tidak sadar bibirku sudah tertarik ke atas saat memandangnya. Jaket merah melekat sempurna di tubuhnya, serasi dengan sweeter merah yang juga kukenakan. Sebenarnya ini bukan kebetulan, karena aku sudah tau dia akan memakai jaket merahnya. Aku makin tersenyum karena aku tau kebiasaanya.
“Ya?” jawabku dengan pertanyaan diikuti tatapan pura-pura bingunku.
“Bareng aja yuk.” Katanya sambil menyodorkan helm putih ke arahku. Helm yang selalu dibawanya untuk persediaan kalau ada yang akan diboncengnya, seperti saat ini.
Aku hanya mengangguk dan makin tersenyum. Perkiraanku kali ini benar lagi, kalau dia akan mengajakku bareng ke sekolah. Hal ini memang sering terjadi. Mungkin dia menganggap ini hanya sekedar sopan santun, tapi aku tetap bahagia.
Aku meraih helm yang dia berikan, lalu memakainya. Ukurannya sangat pas di kepalaku, seperti helm ini memang khusus untukku. Lagi, warnanya putih, warna kesukaanku. Aku terus memikirkan kemungkinan itu saat pertama kali memakai helm ini. Meskipun terdengar tidak masuk akal, tapi aku berharap kemungkinan itu benar.
“Siap?” tanyanya saat aku sudah duduk manis di motornya.
“Iya” jawabku sambil berpegangan di jaketnya.
Kemudian motor melaju dengan sedang. Caranya mengendarai motor tidak ngebut seperti kebanyakan laki-laki. Aku sangat menikmati suasana ini. Kapan lagi bisa berdekatan dengannya kalau bukan disaat seperti ini.
Kami mengenal sejak kecil, satu sekolah dari TK, SD, SMP, sampai sekarang, di SMA. Saat TK dan SD kami sangat dekat, main bersama. Tapi sejak SMP, karena kami beda kelas, jadi kami jarang bertemu, tegur sapa pun jarang. Waktu itu aku mulai merasa kehilangan. Dia semakin jauh.
Tiga tahun di SMP aku lalui begitu-begitu saja tanpa dirinya. Dan aku sangat bersyukur dia masuk SMA yang sama denganku. Meskipun mungkin ceritanya akan sama saat SMP, tapi setidaknya aku bisa melihatnya dari jauh.
Suatu pagi, aku bangun sangat cepat. Lalu tanpa sengaja aku memandang ke luar jendela dan menemukannya sedang mengenakan pakain olahraga. Dan sejak saat itu, aku bertekad untuk mempersingkat jarak kami. Aku mulai mencari kebiasan-kebiasannya. Dan usahaku bisa dikatakan tidak sia-sia. Karena kami sudah sering bertegur sapa dan berangkat sekolah bersama.
“Sampai”
Aku tersentak saat suara itu masuk ke dalam indra pendengaranku. Aku memandang sekeliling, ternyata kami sudah sampai. Aku langsung turun dari motor dan melepaskan helm.
Tidak sedikit anak-anak yang memandang ke arah kami dengan berbagai macam tatapan, iri, bingun, dan tatapan penuh tanya. ‘Kenapa kami begitu serasi?’ ‘kami cocok jadi pasangan’ Mungkin seperti itu yang ada di kepala mereka, khayalku tinggi.
“Terima kasih ya” ucapku tersenyum sambil mengembalikkan helmnya.
“Oke” Dia lalu merapikan tatanan rambutnya yang cukup berantakan karena memakai helm.
Aku masih berdiri kaku di dekat motornya. Aku berharap dia mengajakku ke kelas bareng, karena kelas kami bersebelahan. Tapi ternyata dia hanya melewatiku begitu saja dan berjalan ke arah gerbang.
Aku berbalik untuk melihat ada apa di gerbang, dan hatiku tiba-tiba berdesir saat melihat itu. Dia sedang berbincang hangat dengan seseorang. Seseorang yang berhasil membuatku iri sejak pertama kali melihatnya bergandengan tangan dengan dia.
Mereka berjalan dengan senyum terekam di wajah mereka. Dunia serasa milik mereka berdua. Mereka seperti tumbuhan dan air yang tak bisa terpisahkan. Sedangkan aku hanya satu dari sekian banyaknya parasit yang menginginkan si tumbuhan.
Aku ikut berjalan menuju kelas, tidak jauh di belakang mereka. Aku sadar perasaan ini tidak boleh. Andai hati bisa memilih siapa yang akan di sukainya, aku tidak akan memilihnya yang sangat sulit di jangkau. Aku dan dia bagaikan bumi dan langit. Meskipun aku mendaki gunung tertinggi, aku juga tidak akan mencapainya.
Haruskah aku berhenti berharap?
Aku belum tau. Hatiku belum bisa menjawabnya.

~~~~~~~~~~~